The Safe Haven in the Raining Coffee Shop – Sebatas Genggam Waktu

Theme Story: Titik Aman di Kedai Kopi Hujan

Langit Jakarta sore itu muram, Min, persis seperti hati Rian beberapa bulan terakhir. Hujan rintik tak henti membasahi jendela kedai kopi tempat ia sering menghabiskan waktu, ditemani secangkir americano dingin dan setumpuk draft desain yang tak kunjung selesai. Sejak kehilangan project besar itu, semangat Rian seolah ikut hanyut bersama derasnya hujan. Ia merasa kosong, rutinitasnya hambar, dan masa depannya tampak kabur.

Hingga suatu hari, sebuah kejadian kecil mengubah segalanya. Pintu kedai berderit, seorang perempuan masuk dengan tergesa, rambutnya sedikit basah, dan matanya memancarkan sedikit kepanikan. Ia tampak mencari sesuatu. Rupanya, ia kehilangan dompetnya. Rian yang duduk tak jauh, tanpa sadar mengulurkan tisu saat perempuan itu mulai panik, suaranya pelan menawarkan bantuan.

“Mungkin jatuh di jalan tadi?” kata Rian, suaranya datar tapi ada getaran ingin menolong.

Perempuan itu menoleh, matanya bertemu dengan Rian. Senyum tipis terukir di bibirnya yang sedikit pucat. Senyum itu, Min, bukan senyum ceria, tapi justru menenangkan. Senyum yang seolah berkata, ’Semuanya akan baik-baik saja.’

(Ini adalah awal lirik: “Di sudut hari yang tak terduga hadirmu / Mengubah frekuensi hati yang pilu”)

Nama perempuan itu Arini. Mereka lalu menghabiskan waktu mencari dompet Arini (yang akhirnya ditemukan di bawah meja Arini sendiri), diselingi obrolan ringan yang anehnya mengalir begitu saja. Rian yang biasanya pendiam, tanpa sadar banyak bercerita. Arini mendengarkan dengan sabar, pandangannya lurus, seolah ia bisa membaca semua yang tak terucap. Rian tak perlu banyak kata, Arini seperti tahu.

(Menggambarkan: “Aku terdiam, tak bisa berkata banyak / Hanya tatapan yang bicara tentang kau”)

Sejak pertemuan itu, mereka sering bertemu. Bukan hanya di kedai kopi, tapi juga di pameran seni, di taman kota, atau sekadar berbagi cerita di pesan singkat. Rian sendiri bingung. Logika-nya berkata, mereka baru kenal. Tapi hatinya, Min, merasakan sesuatu yang berbeda. Ada sebuah takdir yang seolah menuntun mereka. Arini tak pernah menghakimi, ia selalu memberi semangat, pelan-pelan mengisi celah-celah kosong dalam diri Rian.

(Ini makna dari: “Logika tak mampu lagi ‘tuk menjelaskan / Bagaimana takdir kita bisa disatukan”)

Perasaan ini tumbuh alami, tanpa paksaan. Rian mulai merasa dirinya kembali utuh. Senyum Arini adalah titik aman baginya, seperti rumah tempat ia bisa kembali setelah lelah berpetualang. Ia tak butuh janji-janji manis atau kata-kata romantis yang berlebihan. Cukup sentuhan tangan Arini, genggaman lembut yang menenangkan. Itu sudah lebih dari cukup.

(Inilah inti dari Reff: “Aku tak perlu janji yang berlebihan / Cukup kau genggam tanganku di setiap pagi / Kau adalah titik aman yang kurindukan / Satu-satunya rumah yang ingin kudatangi”)

Rian tahu, ia telah menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga dari sekadar project yang hilang. Ia menemukan rumah di dalam diri Arini. Sebuah tempat di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa takut, tanpa sepi. Dan Rian berjanji dalam hati, ia akan menjaga titik aman ini sampai kapan pun. Karena bersama Arini, Rian tahu, ia tidak akan pernah lagi merasa tersesat.

English Version

The Safe Haven in the Raining Coffee Shop

The Jakarta sky that afternoon was sombre, Ananda, precisely mirroring the state of Rian’s heart for the past few months. A persistent drizzle kept tracing the windows of the coffee shop where he often lingered, accompanied by a cup of cold Americano and a pile of unfinished design drafts. Since losing that massive project, Rian’s spirit seemed to have been washed away by the relentless rain. He felt empty, his routine was tasteless, and his future appeared hazy.

Until one day, a small incident changed everything.

The shop door creaked open, a woman entered in a rush, her hair slightly damp, and her eyes radiating a flicker of panic. She seemed to be searching for something. As it turned out, she had lost her wallet. Rian, who sat nearby, instinctively offered a tissue as the woman began to panic, his voice a soft murmur offering assistance.

“Perhaps it fell on the street earlier?” Rian asked, his voice flat yet carrying a genuine tremor of willingness to help.

The woman turned, her eyes meeting Rian’s. A faint smile graced her slightly pale lips. That smile, Ananda, was not a cheerful one, but rather a calming one. A smile that seemed to say, ‘Everything will be alright.’


(This is the beginning of the lyric: “In an unexpected corner of the day, your presence came / Changing the frequency of a sorrowful heart”)

The woman’s name was Arini. They then spent time searching for Arini’s wallet (which was eventually found right under Arini’s own table), interspersed with light chatter that, strangely, flowed effortlessly. Rian, usually a man of few words, found himself sharing many stories without realizing it. Arini listened patiently, her gaze direct, as if she could read all that remained unsaid. Rian did not need many words; Arini seemed to just know.

(Describing: “I fell silent, unable to utter many words / Only a glance speaks of you”)

Since that encounter, they began meeting often. Not just at the coffee shop, but also at art exhibitions, in the city park, or simply sharing stories through brief messages. Rian himself was perplexed. His logic told him they were new acquaintances. But his heart, Ananda, felt something different. There was a fate that seemed to be guiding them. Arini never judged; she always offered encouragement, slowly filling the empty spaces within Rian.

(This is the meaning of: “Logic can no longer explain / How our destiny could be united”)

This feeling grew naturally, without any compulsion. Rian started to feel whole again. Arini’s smile was his safe haven, like a home he could return to after an exhausting journey. He did not need sweet promises or exaggerated romantic words. Just the touch of Arini’s hand, a soft, soothing clasp. That was more than enough.

(This is the essence of the Chorus/Refrain: “I don’t need excessive promises / Just hold my hand every morning / You are the safe haven I long for / The only home I want to come to”)

Rian knew he had found something far more valuable than a lost project. He had found home within Arini. A place where he could be himself, without fear, without loneliness. And Rian promised in his heart that he would guard this safe haven forever. Because with Arini, Rian knew, he would never feel lost again.


Posted

in

by

Comments

One response to “The Safe Haven in the Raining Coffee Shop – Sebatas Genggam Waktu”

  1. A WordPress Commenter Avatar

    Hi, this is a comment.
    To get started with moderating, editing, and deleting comments, please visit the Comments screen in the dashboard.
    Commenter avatars come from Gravatar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *